Bahasa adalah alat
atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan,
lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati
atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui
bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku,
tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala
bentuk masyarakat. Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi
fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat
untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan integrasi
dan adaptasi
sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah untuk mengadakan hubungan
dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra),
mempelajari naskah-naskah kuna, dan untuk mengeksploitasi ilmu
pengetahuan dan teknologi.
http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya
Sebelum mengetahui
dan membahas mengenai definisi penerjemahan, mari kita lihat apa sebenarnya
alasan penerjemahan. Seperti yang kita tahu bahwa bahasa merupakan alat sentral
yang digunakan untuk berkomunikasi, memberi atau menyampaikan informasi dan
juga alat untuk menerima dan mendapatkan informasi. Sehubungan dengan hal-hal
tersebut, mengingat dunia memiliki bahasa atau cara berkomunikasi yang beragam,
maka untuk mengetahui informasi-informasi dari semua belahan dunia yang memliki
bahasa yang berbeda tersebut penerjemahan disini sangat penting dilakukan.
Bahasa Indonesia sendiri memiliki fungsi
yang salah satunya adalah sebagai bahasa Negara. Fungsi ini mencakup fungsi
bahasa sebagai bahasa resmi yang digunakan didalam pengembangan kebudayaan dan
pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi modern. Fungsi ini dapat terpenuhi
apabila semua informasi mengenai kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi
ditulis dalam bahasa Indonesia.
Informasi-informasi dalam bentuk buku atau
bahasa tulisan asing dapat diterima dan dipahami apabila kita menulis,
menerjemahkan atau menyadur kedalam bahasa Indonesia. Penerjemahan ini penting
dilakukan oleh Indonesia mengingat Indonesia merupakan salah satu Negara
berkembang yang membutuhkan banyak informasi berbagai pengetahuan mulai dari
politik, ekonomi, terutama teknologi sampai pegetahuan tentang kebudayaan
asing. Intinya penerjemahan ini sangat penting bagi proses tukar menukar
informasi dan hasil penemuan guna perkembangan pengetahuan dan teknologi di
Indonesia. Tanpa penerjemahan maka proses penyerapan ilmu pengetahuan dan
teknologi oleh para calon ilmuwan atau bahkan para ilmuwan juga akan terhambat,
bahkan mungkin mereka akan ketinggalan informasi karena tidak dapat mengikuti
perkembangan maupun perubahan dalam dunia ilmu pengetahuan, ditambah lagi jika
para calon dan ilmuwan ini tidak terlalu menguasai bahasa asing. Hal inilah
yang menjadi alasan mengapa penerjemahan sangat penting dilakukan.
Selain dilakukan oleh negara-negara
berkembang seperti Indonesia, penerjemahan juga giat dilakukan oleh
negara-negara maju. Dick Hartoko dalam Widyamartaya mengatakan: “Kebutuhan
menerjemahkan buku bukanlah tanda keterbelakangan. Justru sebaliknya, tanda
keterbukaan, tanda kegiatan hendak ikut serta dalam tukar-menukar informasi.”
(1989: 9)
Masing-masing ahli bahasa atau para
teoritikus bahasa memiliki kalimat yang berbeda dalam mendefinisikan
penerjemahan, tetapi sebenarnya intinya sama. Eugene A. Nida dan Charles R.
Taber, dalam buku mereka The Theory and Practice of Translation,
memberikan definisi terjemahan sebagai berikut:
Translating consists in reproducing in the
receptor language the closest natural equivalent of the source language
message, first in terms of meaning and secondly in terms of style.
Menerjemahkan merupakan kegiatan
menghasilkan kembali didalam bahasa penerima barang yang secara
sedekat-dekatnya dan sewajarnya sepadan dengan pesan dalam bahasa sumber,
pertama-tama menyangkut maknanya dan kedua menyangkut gayanya.” (A. Widyamartaya,
1989: 11)
A. Widyamartaya
memiliki definisi yang lebih sederhana untuk penerjemahan. Ia mendefinisikan
bahwa menerjemahkan sebagai proses memindahkan suatu amanat dari bahasa sumber
kedalam bahasa penerima (sasaran) dengan pertama-tama mengungkapkan maknanya
dan kedua mengungkapkan gaya bahasanya. (A. Widyamartaya, 1989: 11)
Gaya bahasa hasil
terjemahan tidak boleh menyimpang dari makna dan gata bahasa yang diungkapkan
oleh bahasa asli (source language). Penyimpangan akan berakibat fata
bagi pembaca hasil karya terjemahan.
Penyimpangan yang terjadi dapat mengakibatkan kesalahan informasi yang akan
diterima oleh pembaca karya terjemahan, oleh karena itulah hasil karya
terjemahan haruslah equivalent terhadap
karya aslinya, dan ini harus terjadi secara natural yaitu wajar dan sesuai
dengan gaya atau idiom bahasa dimana
terjemahan dibuat.
Penerjemahan
merupakan usaha untuk menyatakan kembali ide dari satu bahasa ke bahasa lain
(M. Arif. R, 2006 : 9)
Penerjemahan
menimplikasikan dua bahasa yaitu bahasa sumber / asli (source language)
dan bahasa sasaran (target language). M Arif. R. Menjelaskan dalam
bukunya bahasa sumber adalah bahasa teks yang diterjemahkan dan bahasa
sasaran adalah bahasa teks hasil bahasa Indonesia, maka bahasa Inggris adalah
bahasa sumber dan bahasa Indonesia merupakan bahasa sasarannya.
Menurut Jakobson (Jakobson
dalam Gentzler dalam M. Arif R. 2006) pengertian translation, interlingual
translation dan intersemiotic translation. Interlingual translation merujuk
pada usaha-usaha untuk menyatakan suatu
ide atau pikiran dalam bahasa yang sama, sedangkan interlingual translation
merupakan suatu istilah yang sering dipahami sebagai translatiuon merupakan
suatu istilah yang sering dipahami sebagai menerjemahkan dalam bahasa
Indonesia, yakni usaha menerjemahkan ide atau pikiran dari suatu bahasa ke
bahasa yang lain. dan intersemiotic translation adalah usaha menerjemahkan
sebuah pikiran atau ide dari bahasa verbal ke bahasa non-verbal.
Terdapat tiga
tingkatan penerjemahan yang masing-masing mempunyai penekanan yang berbeda
(Crystal, dalam M. Arif. 2006 : 10) yang pertama ialah word for word
translation. Penerjemahan model ini mencoba menerjemahkan teks dari satu bahasa ke bahasa lain dengan mencari
persamaanya secara grammatikal. Contohnya, kata dalam bahasa Inggris
diterjemahkan menjadi kata dalam bahasa Indonesia. Frase menjadi frase, klausa
menjadi klausa dan seterusnya. Tingkat kedua disebut. Literal translation,
usaha menerjemahkan dengan cara ini melihat hanya arti literal dari kata,
frase, klausa, atau kalimat yang diterjemahkan
Dengan cara ini struktur linguistik bahasa sumber diikuti dan kemudian
disesuaikan dengan gramatik bahasa sasaran. Cara ketiga dikenal dengan nama free
translation yang merupakan usaha menerjemahkan makna yang dinyatakan oleh
bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Dalam hal ini struktur linguistik tidak menjadi penting karena penekanannya
lebih pada equivalensi makna.
Ketiga tingkat
penerjemahan di atas digunakan oleh penerjemah tidak dalam situasi tertentu
sesuai dengan porsinya. Seorang penerjemah tidak bisa menggunakan secara
haphazard ketiga metode tersebut. kesalahan menggunakannya akan menghasilkan
terjemahan yang tidak sesuai dengan karya aslinya. Jika demikian maka pembaca
karya terjemahan tidak akan memperoleh informasi yang tepat yang dibutuhkan
dari karya tersebut, dalam hal ini maka tujuan utama penerjemahan di katakan
tidak tercapai. Untuk dapat menghasilkan karya terjemahan yang equivalen dengan
aslinya, H.G. de Maar (M.G. maar alam Widyamartaya, 1989 : 12) memberikan
beberapa petunjuk penerjemahan agar penerjemah dapat menghasilkan karya
terjemahan yang baik dan benar, antara lain :
1.
Berlakulah setia kepada aslinya dan berikanlah kebenaran,
seluruh kebenaran dan tak lain daripada kebenaran. Tidak boleh ada ide penting
muncul dalam terjemahan, kalau ide itu tidak ada dalam karangan aslinya. Tidak
boeh ada hal kecil tapi penting dihilangkan dari terjemahan kalau hal itu
terdapat dalam karangan aslinya.perhatikanlah secara seksama dalam semangat
atau suasana apa karangan asli ditulis. Kalau hanya ramah, ramahlah dalam
terjemahan Anda; kalau luhur, berikanlah pada terjemahan Anda suatu nada yang
luhur.
2.
Sebuah terjemahan harus tak terbaca sebagai suatu
terjemahan. Terjemahan harus tidak mengingatkan akan karangan aslinya, tetapi
harus terbaca wajar seolah-olah muncul langsung dari pikiran si pelajar. Harus
terbaca seperti arti dari karangan aslinya, tetapi tanpa mengorbankan tuntutan
akan ungkapan yang baik dan idiomatis.
Penerjemahan pada dasarnya merupakan upaya mengalihkan buah
pikiran yang tertuang dari suatu bahasa ke bahasa yang lain. Ini berarti
penerjemahan bukan semata-mata masalah linguistik, melainkan juga harus
memperhatikan faktor budaya, baik budaya yang mendasari bahasa sumber maupun
budaya yang mendasari bahasa sasaran. Dengan demikian penerjemahan memiliki
dimensi “ lintas budaya “. Sehubungan dengan hal itu maka metode penerjemahan
akan lebih baik menggunakan metode maknawi dan bukan katawi.
Metode maknawi lebih mengutamakan penyampaian makna yang terkandung dalam teks
sumber daripada pengalihan kata secara leksikal. Karena lebih mementingkan
pengalihan makna, seringkali penerjemah harus “mengabaikan” bentuk teks sumber.
Penggunaan metode maknawi lebih dituntut manakala melakukan penerjemahan dari
teks sumber berbahasa Jawa ke dalam bahasa lain, termasuk ke dalam bahasa Indonesia,
karena kekhasan dan budaya Jawa.
Dalam abad teknologi seperti sekarang ini merupakan hal yang
aneh kedengarannya mengupayakan penerjemahan teks-teks berbahasa Jawa dan
mungkin untuk bahasa daerah yang lain karena teks-teks itu kebanyakan produk budaya
masa lampau, yang seringkali dianggap tidak menjawab kebutuhan masa kini. Untuk
itu perlu disarikan beberapa manfaat penerjemahan teks-teks berbahasa Jawa ke
dalam bahasa Indonesia, yaitu; menciptakan komunikasi baik vertical maupun
horizontal, mencari alternatif nilai, dan pengalihan ilham.
Penerjemahan yang berarti pemindahan makna dari bahasa sumber ke bahasa sasaran
lebih mudah dilakukan apabila bahasa sumber dan bahasa sasaran serumpun.
Mengingat bahasa Indonesia yang berpangkal pada bahasa Melayu dan bahasa Jawa
serumpun, penerjemahan bahasa Jawa ke bahasa Indonesia atau sebaliknya
seharusnya tidak terlalu sulit. Namun harus diingat bahwa setiap bahasa
mempunyai kekhasan masing-masing. Suatu bahasa hanya efektif untuk mewadai buah
pikiran masyarakat pemakainya. Oleh karena itu, betapa pun bahasa Jawa dan
bahasa Indonesia serumpun, penerjemahannya harus memperhatikan sifat-sifat
kedua bahasa tersebut.
Budaya
Dalam menerjemahkan
teks, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi proses penerjemahan.
Faktor-faktor tersebut meliputi faktor penerjemah, kontekstual dan tekstual.
Dalam penerjemahan, unsur/faktor penerjemah sangat terkait erat dalam proses
penerjemahan. Setiap penerjemah akan menghasilkan hasil terjemahan yang berbeda
meskipun mereka menerjemahkan suatu teks yang sama. Hal ini dapat dipengaruhi
oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan penerjemah itu sendiri dalam
menerjemahkan. Faktor-faktor tersebut dapat berupa wawasan penerjemah,
kompetensi penerjemah dan juga kamus yang digunakan oleh penerjemah.
Penerjemah merupakan
faktor yang paling utama dalam penerjemahan.
Hal itu dikarenakan
hasil karya terjemahan sangat bergantung pada penerjemah. Penerjemah sepenuhnya
memegang kendali terhadap karya terjemahannya. Penerjemah idealnya memiliki
pengetahuan dan wawasan yang luas dalam menguasai atau memahami bahasa tidak
hanya secara teks tetapi dengan konteks budaya sasaran dimana karya asli
dihasilkan. Jika penerjemah kurang memiliki wawasan yang cukup tentang kedua bahasa (source language dan target
language) dan juga budaya baik tekstual maupun kontekstual dimana bahasa
tersebut digunakan maka karya terjemahan yang dihasilkan akan kurang memuskan
dan tidak mengena bagi pembacanya.
Disamping itu, kamus
yang digunakan oleh penerjemah juga sangat mempengaruhi proses dan hasil
terjemahan. Seorang penerjemah sebaiknya tidak hanya memiliki satu kamus saja.
Dalam proses penerjemahan, penerjemah perlu membandingkan makna satu kata atau
arti satu kata dari beberapa kamus yang berbeda untuk memperoleh pedoman kata
yang tepat. Misalnya seorang penerjemah yang ingin menerjemahkan bahasa Inggris
ke dalam bahasa Indonesia. penerjemah perlu melihat arti atau makna kata bahasa
Inggris tersebut dalam kamus monolingual Inggris terlebih dahulu baru kemudian
mencari padanannya di dalam kamus Inggris-Indonesia. untuk kamus dwi bahasa
inipun penerjemah harus memilih dengan selektif. Kadang-kadang penerjemah juga
harus memiliki kamus yang mengandung idiom maupun jargon dari disiplin-disiplin
ilmu yang mungkin terdapat dalam teks yang diterjemahkan. Kamus pun harus
dimiliki sesuai dengan zaman yang berubah, karena ada beebrapa kamus yang tidak
kontemporer. Sewaktu-waktu berubah, misalnya kamus yang diterbitkan pada tahun
1960-an, maka isinya mungkin sedikit berubah pada saat diterbitkan pada tahun
1980. Dalam hal ini penerjemah harus jeli memilih.
Mengenai faktor
kontekstual, kita harus memahami bahwa teks tidak muncul begitu saja, seorang
penerjemah tidak akan mengartikan isi karyanya begitu saja tanpa suatu
tendency, akan tetapi suatu karya yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh ruang
dan waktu ketika karya tersebut dibuat di suatu masa. Dalam teks dengan
berhubungan dengan sejarah sebuah karya yang bisa dinikmati sekarang, tentu
tidak dibuat pada masa sekarang, karya tersebut bisa saja terjadi pada masa
yang lampau. Seperti jika seorang penerjemah ingin menerjemahkan karya sastra
Inggris, penerjemah haruslah memahami betul masa penulisan karya tersebut. ini
dikarenakanmasa kesusastraan di Inggris memiliki beberapa periodisasi bahasa
dalam sejarahnya. Periodisasi tersebut dikenal dengan periodisasi bahasa dalam
sejarahnya. Periodisasi tersebut dikenal dengan periodisasi bahasa dalam sejarahnya.
Periodisasi tersebut dikenal dengan periodisasi old english (kira-kira
abad 5-12 M0, Middle english (kira-kira 1150 -1450M), Early Modern english
(kira-kira 1450-1700M) dan modern English (kira-kira 1700–sekarang). (Mc.
Arthur dalam M. Arif R, 2006 : 12)
Dalam setiap
periodisasi suatu karya dibuat. Menerjemahkan suatu karya dari masa lampau
tentu akan menjadi kesulitan tersendiri. Kesulitan yang muncul dapat berupa
perbedaan struktur kalimat atau tata bahasa, karena karya yang diterjemahkan
menggunakan tata bahasa kuno dan mungkin sudah tidak dipakai lagi sekarang.
Variasi
geografis/regional juga mempengaruhi teks secara kontekstual suatu karya
dihasilkan tidak dapat lepas dari wilayah dimana karya tersebut dibuat.
Penerjemah harus menguasai atau paling tidak memahami adanya perbedaan bahasa yang mungkin digunakan dalam setiap wilayah.
Untuk bahasa Inggris saja, terdapat beebrapa wilayah yang tidak menggunakan
bahasa Inggris yang benar-benar, British, misalnya Scottish English, Irish
English dan American English.
Selain itu variasi
sosial yang menentukan penggunaan bahasa. Pemakaian bahasa dapat dibagi menjadi
2 tingkat, yaitu formal dan informal. Penerjemahan dengan harus memahami hal ini, sehingga dia dapat menerjemahkan suatu
teks sesuai dengan konteks yang ditetapkan. Topik teks juga harus diperhatikan
oleh penerjemah. Misalnya,. Teks dalam disiplin ilmu tertentu maka penerjemah
juga harus mempersiapkan kata-kata yang cocok untuk disesuaikan dengan disiplin
ilmu tersebut. teks politik harus diterjemahkan dengan pilihan kata dan bahasa
politik juga. Begitu pula dengan teks ekonomi, hukum, kedokteran, teknik, dan
sebagainya. Problem lain yang mempengaruhi penerjemahan teks adalah
penulis teks. Dalam buku-buku teks tertentu, sering seorang penulis menggunakan
istilah umum yang dikenal, tetapi dengan makna yang dipahami oleh penulis
tersebut. Oleh karena itu, untuk mengetahui makna kata atau istilah tersebut,
penerjemah terpaksa harus mengetahui maksud penulis dan kemudian memberi
catatan pada hasil terjemahannya agar dapat membuat pembaca paham dengan
istilah tersebut.
Sebagai contoh, terdapat istilah modern. Dalam pengertian yang
dipahami secara keseharian, istilah ini berasal dari kata Latin modo yang
berarti “tentang/ dari masa kini” atau “apa yang berlaku di masa kini” yang
dibedakan dari masa lalu. Pengertian semacam ini tentunya bias menimbulkan
tafsir yang berbeda pada pembaca yang berbeda. Pengertian yang modern biasanya
dihubungkan dengan kondisi masa kini di Barat. Namun, istilah modern ini
dipahami berbeda oleh Lyotard. Modern menurutnya berarti “ilmu apapun yang
meligitimasi dirinya dengan mengacu pada meta wacana dari jenis yang membuat
acuan eksplisit pada grand narrative, seperti dialektika Spirit, hermeneutika
makna, emansipasi subjek yang rasional” (Lyotard dalam M Arif, 2005: 21)
Hal yang sama tampak dalam istilah lain, misalnya text. Istilah
tersebut umumnya dipahami sebagai teks tertulis yang dapat dibaca. Namun,
istilah ini menjadi lain artinya ketika digunakan oleh Roland Barthes,
misalnya, dalam Theory of the Text (Young dalam M. Arif, 2005). Teks dibedakan
dari karya (work). Sementara adalah hasil yang sudah material dan menempati
ruang, seperti rak perpustakaan, teks merupakan hasil ‘pembacaan’. Teks mencakup
tidak hanya karya yang tertulis, tetapi juga bahasa yang diartikulasikan.
Bahkan, istilah ini juga dapat mencakup praktik menggambarkan lukisan, praktik
musik, praktik film dan sebagainya.
Faktor pembaca juga penting untuk diperhitungkan dalam
penerjemahan. Pada dasarnya, setiap teks mengandaikan adanya kelompok pembaca
tertentu. Sebuah cerita anak-anak diasumsikan akan dibaca oleh anak-anak.
Sebuah novel dibayangkan akan dibaca oleh orang dewasa. Oleh karena itu, ketika
menerjemahkan sebuah teks, penerjemah harus menyadari sepenuhnya mengenai hal
ini. Apakah teks yang akan diterjemahkan mempunyai sasaran kelompok pembaca
umur tertentu? Apakah hal ini akan mempengaruhi pilihan kata dalam bahasa
sasaran? Misalnya, ketika pada sebuah teksInggris terdapat kata/, apakah/ akan
ditejemahkan ‘saya’, ‘aku’, atau ‘hamba’. Pada cerita-cerita anak, / bias
diterjemahkan menjadi ‘aku’ dan barangkali ‘saya’. Akan tetapi, kecil
kemungkinan terjemahannya adalah ‘hamba’. Penerjemahan kata tersebut juga akan
lain pada teks-teks pidato kenegaraandan surat-surat dinasresmi yang
cenerungmemberikan terjemahan formal. Dengan kata lain, pembaca dalam bahasa
sasaran akan mempengaruhi terjemahan tersebut.
Penerjemahan bukan hanya soal mencari padanan kata dan frasa antara
bahasa sumber dan bahasa sasaran, tetapi juga cara menciptakan keselarasan
hubungan dengan klien, agen, atasan; membangun jaringan, mengadakan penelitian,
memanfaatkan teknologi; serta kesadaranakan peran penerjemahan dalam masyarakat
dan peran masyarakat dan peran masyarakat dalam penerjemahan pada umumnya. (D.
Robinson, 2005)
Tidak bisa dipungkiri bahwa penerjemah adalah mahluk sosial,
bukan semata-mata dilihat dari keberadaannya sebagai manusia, tetapi keberadaan
sosialnya juga krusial bagi kehidupan profesionalnya. Tanpa adanya jaringan
sosial, penerjemah tidak akan pernah belajar bahasa apapun, apalagi satu, dua,
tiga bahasa atau lebih. Tanpa jaringan sosial, penerjemah tidak akan mampu
menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan pada bahasa yang dipergunakan. Tanpa
jaringan sosial, penerjemah tidak akan mendapatkan pekerjaan, sulit melakukan
penelitian untuk pekerjaan-pekerjaan yang didapatkan, tidak punya wawasan
tentang hal-hal yang barangkali diinginkan pembaca, tidak punya tujuanuntuk
menrahkan hasil tejemahan. Karena sebenarnya hasil karya seorang penerjema itu
sendiri juga masih behungan dengan sosial. Hasil terjemahan sendiri akan
dipersembahkan bagi khalayak. Sehinga penerjemah harus benar-benar memahami
kondisi dimana suatu masyarakat mengunakan suatu bahasa untuk diterjemahkan dan
untuk dipersembahkan.
Penerjemahan bukan hanya soal mencari padanan kata dan frasa
antara bahasa sumber dan bahasa sasaran, tetapi juga cara menciptakan
keselarasan hubungan dengan klien, agen, atasan; membangun jaringan, mengadakan
penelitian, memanfaatkan teknologi; serta kesadaranakan peran penerjemahan
dalam masyarakat dan peran masyarakat dan peran masyarakat dalam penerjemahan
pada umumnya. (D. Robinson, 2005)
Tidak bisa dipungkiri bahwa penerjemah
adalah mahluk sosial, bukan semata-mata dilihat dari keberadaannya sebagai
manusia, tetapi keberadaan sosialnya juga krusial bagi kehidupan
profesionalnya. Tanpa adanya jaringan sosial, penerjemah tidak akan pernah
belajar bahasa apapun, apalagi satu, dua, tiga bahasa atau lebih. Tanpa
jaringan sosial, penerjemah tidak akan mampu menyesuaikan diri dengan
perubahan-perubahan pada bahasa yang dipergunakan. Tanpa jaringan sosial,
penerjemah tidak akan mendapatkan pekerjaan, sulit melakukan penelitian untuk
pekerjaan-pekerjaan yang didapatkan, tidak punya wawasan tentang hal-hal yang
barangkali diinginkan pembaca, tidak punya tujuanuntuk menrahkan hasil
tejemahan. Karena sebenarnya hasil karya seorang penerjema itu sendiri juga
masih behungan dengan sosial. Hasil terjemahan sendiri akan dipersembahkan bagi
khalayak. Sehinga penerjemah harus benar-benar memahami kondisi dimana suatu
masyarakat mengunakan suatu bahasa untuk diterjemahkan dan untuk dipersembahkan
Yang terakhir adalah faktor budaya.
Seorang penerjemah harus memaham budaya dimana bahasa sumber berasal, baik
berupa kata ataupun ekspresi budaya yang terdapat pada budaya dimana bahasa
sumber digunakan, karena setiap wilayah/daerah tentu saja memiliki budaya yang
berbeda dalam mengungkapkan suatu maksud. Karena jika penerjemah tidak
menguasai budaya bahasa sumber maka saat menerjemahkan, penerjemah bisa
kehilangan maksud dari penulis asli dalam mumbuat karya tersebut. Kesalahan
dalam memahami budaya juga mengakibatkan kesalahan terjemahan juga kesalahan
informasi terhadap pembaca karya terjemahan.
Dari sekian banyak faktor-faktor tersebut
dari mulai teks, penerjemah, penulis, kamus yang digunakan, variasi sosial dan
sebagainya sampai fator budaya maka penulis akan membahas mengenai faktor
budaya dalam terjemahan. Karena menyangkut judul yang mengenai penerjemahan
budaya maka penulis akan membahas mengenai suatu terjemahan yang dipengaruhi
oleh budaya suatu tempat baik itu yang berasal dari bahasa sumber ataupun yang
diterjemahkan kedalam bahasa sasaran.
DEFINISI BUDAYA
Budaya atau
kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai
hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam
bahasa Inggris,
kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere,
yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah
atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai
"kultur" dalam bahasa Indonesia. Kebudayaan sangat erat hubungannya
dengan masyarakat.
Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala
sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki
oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu
generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan
pengertian, nilai, norma,
ilmu
pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial,
religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan
artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Menurut Edward B. Tylor,
kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil
karya, rasa, dan cipta masyarakat. http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian
mengenai kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau
gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan
sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah
benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa
perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan
hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk
membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
TERJEMAHAN BUDAYA
Kegiatan menerjemah
telah dilakukan oleh para ahli bahasa
sejak zaman dahulu. Dalam proses perkembangannya. Para kritikus penerjemahan
ini sebenarnya telah menyadari adanya perbedaan budaya dan signifikasi
keterkaitannya terhadap penerjemahan, karena itulah bagi para penerjemah
biasanya pengetahuan kebudayaan dan perbedaan kebudayaan menjadi fokus utama
untuk dipahami secara mendasar. Ada banyak bahasa digunkaan pada situasi dan
kondisi budaya yang berbeda. Contohnya untuk satu kata saja dalam satu bahasa
mungkin maknanya akan berbeda jika diterjemahkan ke dalam bahasa lain, dan
makna ini akan berubah jika penerjemah tidak menguasai atau memahami budaya dimana kata tersebut berasal.
Contohnya ketika penerjemah harus menerjemahkan dengan menggunakan padanan
lokal yang paling mendekati gemütlah dari bahasa Jerman ke dalam bahasa Inggris
menjadi ‘cozycosyik, comfortable (menyenangkan), namey (nyaman seperti di
rumah), Dauglas, R. 2005 : 187)
Beautiful dari bahasa
Inggris ke dalam bahasa Indonesia menjadi cantik, indah, merdu, dan sebagainya.
kata dan frase yang dibatasi oleh budaya dan tidak bisa diterjemahkan ke dalam
bahasa sasaran harus benar-benar dipahami oleh penerjemah. Penerjemah harus
bisa mencari padanan yang tepat bagi kata
atau proses tersebut agar tidak memunculkan kerancuan atau bahkan
kesalahan dalam karya terjemahan.
Hal-hal yang paling
dtekankan oleh teoritikus bahasa dalam studi penerhemahan modern tentang kebudayaan
adalah makin besarnya perhatian terhadap pembentukan pengetahuan budaya dalam
membangun dan melestarikan pengetahuan budaya serta menertibkan pemindahan
lintas hambatan-budaya. Hal ini mulai diteliti pada sekitar akhir tahun
1970-an, para ilmuwan mulai menyelidiki dampak sistem kebudayaan akhir tahun 1970-an, para ilmuwan mulai menyelidiki
dampak sistem kebudayaan-sasaran terhadap materi terjemahan, latar belakang,
cara penerjemahan dan bagaimana terjemahan itu digunakan. Penelitian ini
kemudian dilanjutkan untuk menyelidiki dampak berkelanjutan kolonisasi atau
penjajahan terhadap penerjemahan, terutama perbedaan kekuasaan yang masih
bertahan dianatra negara “dunia pertama” dan negara “dunia ketiga” serta cara
perbedaan-perbedaan itu dalam praktek penerjemahan
(Dauglas R. 2005 : 390)
Lalu bagaimana
pandangan penerjemahan terhadap batas-batas udaya? Batas-batas dalam suatu
kebudayaan cukup didefinisikan sebagai batas ketika teks yang dipindahkan harus diterjemahkan
(secara intralingual atau interlingual). Maksudnya, jika sebuah teks bisa
dipindahkan secara memadai (berpindah
diantara ruang dan / atau waktu tanpa penerjemahan, berarti ada kesinambungan budaya. Namun, jika sebuah
teks sudah diterjemahkan,. Penerjemahan tersebut menggambarkan adanya jarak
sekurang-kurangnya dianatra dua kebudayaan (pym dalam D. Robinson, 2005 :391)
Perbedaan budaya
sebagian besar merupakan fungsi dari jarak yang ditempuhnya, jarak dari suatu
tempat atau zaman saat teks itu ditulis ke tempat atau zaman saat teks itu dibaca.
saat kita mendekati batas budaya, teks yang dipindahkan menjadi semakin sulit
untuk dipahami. Sampai-sampai kita sebagai menerjemah menyerah dan menyadari
bahwa kita sudah berpindah dari satu kebudayaan ke kebudayaan yang lain.
Salah satu problema
yang seirng kali ditemui oleh penerjemah adalah mereka seringkali beranggapan
bahwa mereka sudah memahami sebuah teks yang berasal dari suatu kebudayaan yang
amat berbeda –sederhana saja, hanya karena teks itu ditulis dalam bahasa yang
kita pahami.
Unsur budaya dalam suatu karya akan mempengaruhi teks atau karya tersebut
sehingga akan memunculkan istilah-istilah dari budaya tempat teks dihasilkan
yang mungkin tidak dapat diterjemahkan ke dalam budaya pembaca teks yang
berbeda. Suatu karya dipengaruhi oleh kebiasaan, aturan-aturan yang mencakup
budaya dimana penulis mengahsilkan karya tersebut. Seorang penerjemah tidak bisa begitu saja
menerjemahkan satu kata ataupun frasa atau clausa disebut ke dalam bahasa
sasaran tanpa terlebih dahulu melihat atau menyelidiki adakah unsur budaya
dalam teks yang ia terjemahkan tersebut. jika ternyata ada maka penerjemah
harus mampu mencari padanan yang sesuai untuk terjemahan teks tersebut. Tapi
jika penerjemah tidak menemukan padanan yang sesuai maka dia tidak boleh menerjemahkan
sembarangan, karena itu akan merusak karya terjemahan itu sendiri. Pembaca
tidak akan memperoleh kepuasan dan informasi yang tepat dari terjemahan.
Modernisasi pada masyarakat non-Barat juga adalah gejala
budaya. Pemikir Inggris keturunan India, Hommi Bhabha, melihat gejala budaya
ini sebagai penerjemahan budaya (cultural translation). Kendati peniruan
terlihat pada permukaannya, penerjemahan budaya memperlihatkan berbagai
pergeseran makna dan nilai, bahkan pengubahan keutamaan yang memengaruhi pemikiran-pemikiran.
Karena kebudayaan adalah pembentukan simbol-simbol, penerjemahan budaya
melibatkan apa yang disebut Homi Bhabha, praktik-praktik interpelasi
(interpelative practices) yang menunjukkan bekerjanya kekuatan-kekuatan lokal
dalam penerjemahan budaya.
Menimbang pemikiran Homi Bhabha, bisa disimpulkan modernitas
sebagai dampak penerjemahan budaya dibentuk pula oleh kekuatan-kekuatan lokal.
Karena itu, ciri-ciri lokal tidak pernah hilang pada modernitas. Maka,
mempersoalkan modernitas sama sekali bukan menempatkan persoalan dunia modern
semata-mata. Kebudayaan etnik di mana modernitas berkembang harus disiasati
pula karena merupakan komponen yang menghadirkan kekuatan-kekuatan lokal.
Hubungan kekuasaan antara konteks sumber
dan konteks sasaran merupakan hubungan bahasa dan budaya, yang mencerminkan
penggambaran (representations) yang mengejawantah dalam budaya. Penggambaran
identitas diri dalam dua budaya (sumber dan sasaran) sama-sama menimbulkan
dampak dan bisa berbenturan mengenai penggambaran tersebut. Oleh karena
hubungan kekuasaan antara konteks sumber dan sasaran ini tidak setara, misalnya
bahasa Inggris adalah bahasa internasional sedangkan bahasa-bahasa lain hanya
terbatas jumlah penggunanya. Jadi, penerjemah harus menyadari bahwa ketidaksetaraan
hubungan ini dapat mempengaruhi proses penerjemahan. Penerjemah harus selalu
menyadari adanya hubungan tak setara antara sistem budaya tersebut.
Ciri-ciri
Terjemahan Budaya
Dari berbagai sumber
tidak diketemukan ciri-ciri khusus tentang terjemahan budaya. Seorang
penerjemah akan mengetahui jika sebuah karya yang akan ia terjemahkan merupakan
terjemahan budaya atau bukan apabila ketika ia akan menerjemahkan suatu kata
maka ia tidak bisa menemukan padanan yang tepat untuk kata tersebut maka ia
terpaksa melihat apa sebenarnya makna kata tersebut dalam bahasa sumber.
Suatu terjemahan
budaya biasanya akan menyangkut tentang situasi kondisi, adat-istiadat, dan
sosial di mana bahasa sumber dihasilkan. Jika suatu kata dihasilkan oleh suatu
kelompok masyarakat yang ternyata kelompok masyarakat lain belum tentu
menggunakannya maka secara otomatis kata tersebut tidak akan dimengerti oleh
kelompok masyarakat lain tersebut, maka secara otomatis pula ketika kata
tersebut digunakan untuk diterjemahkan kedalam bahasa lain maka tidak akan bisa
ditemukan padanan yang benar-benar cocok untuk kata tersebut. Dalam keadaan
inilah maka suatu terjemahan dikatakan sebagai penerjemahan budaya.
Biasanya suatu
terjemahan budaya bisa dilihat dengan tidak bisa diterjemahkannya suatu kata
(untranslatability). Jika pembaca menemukan suatu kata asing dalam suatu
terjemahan atau suatu kata yang tidak diterjemahkan oleh penerjemah mka boleh
jadi penerjemah tidak menemukan padanan yang cocok untuk kata ini dalam bahasa
sasaran. Dan biasanya untuk mengetahui arti dari kata tersebut penerjemah
memberikan foot note pada bagian bawah lembar karya terjemahan tersebut.
Contoh-contoh
terjemahan budaya
Berikut adalah beberapa kata dan ekspresi dan penjelasan
tentang istilah dan kata tersebut:
Kilt, adalah rok pendek dengan banyak lipatan
pada bagian belakang dan biasanya mempunyai pola tartan yang dipakai oleh orang
laki-laki Skotlandia.
Tartan, merupakan kain yang dianyam dengan warna
dan pola tertentu yang merupakan cirri kelompok/ marga/ klan di Skotlandia.
Blind date, kencan pertama pemuda-pemudi yang belum
saling kenal.
Go Dutch, bayar sendiri-sendiri.
French leave, membolos atau pergi tanpa pamit.
Halloween, malam tanggal 31 oktober yang dulunya
dipercaya sebagai waktu munculnya orang yang sudah mati.
April’s Fools Day, tamggal 1 april ketika seseorang menipu
atau membohongi orang lain dengan maksud bercanda.
Dutch Courage, Keberanian yang timbul setelah seseorang
minum-minuman alcohol.
Sandwich, dua roti tawar ang disatukan dan diolesi
mentega dan ditaruh sayur atau telur dadr atau irisan daging babi ditengahnya.
Takeaways, makanan masak ringan yang dibumgkus dan
biasanya dapat dimakan sambil berjalan.
Dalam kenyataannya tidak semua kata-kata atau istilah tersebut
dapat diterjemahkan (untranslatable). Kata kilt, tartan, dan sandwichlebih
sering digunakan tanpa diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia. Hal ini
disebabkan tidak adanya fakta yang sama dalam budaya Indonesia.
Contoh lain tentang penerjemahan yang berkaitan dengan
kebudayaan yang berbeda ditunjukkan oleh Palmer (Palmer dalam M. Arif Rokhman,
2006: 20). Ia menunjukkan bagaimana kalimat “saling menyambutlah diantara kamu
dengan ciuman yang kudus” dalam perjanjian baru harus diterjemahkan kedalam
kebudayaan Eropa modern. Ia mempertanyakan apakan terjemahan kalimat harus
menjadi “saling menyambutlah diantara kamu dengan jabat tangan yang erat.”
Ilustrasi yang menarik lainnya adalah penerjemahan berkaitan
dengan bahasa tubuh. Di Indonesia, dikenal cara menyatakan konsep ‘sinting’
atau ‘gila’ dengan menempelkan jari telunjuk (kanan) miring didepan dahi. Dalam
budaya lain, misalnya, budaya Amerika, terdapat cara lain untuk melakukannya.
Orang Amerika akan mengacungkan telunjuk (kanan) dan memutar-mutarkan telunjuk
tersebut disamping pelipis kanan. Contoh lain ialah di India cara seseorang
minta maaf adalah dengan memegang kedua telinganya dengan menyilangkan kedua
tangannya, akan tetapi ditempat lain seperti di Indonesia orang-orang meminta
maaf dengan cara berjabatan tangan.
Contoh-contoh lain yang masih berhubungan dengan penerjemahan
budaya adalah:
Braniff
Airlines mempunyai slogan “Fly in Leather” yang mengesankan bahwa terbang
dengan Braniff berarti terbang dalam kemewahan. Terjemahan dalam bahasa Spanyol
memberi kesan yang agak berbeda yaitu “Fly Naked”.
Slogan
The Coors, “Turn it Loose (santailah)” diterjemahkan ke dalam bahasa
Spanyol menjadi kira-kira “Suffer From Diarrhea (Menderita Diare)
Penjualan
Vicks Cough Drops di Jerman mengalami kesulitan. Orang-orang Jerman melafalkan
huruf V sebagai F, yang mengubah nama perusahaan tersebut menjadi istilah
prokem untuk poerilaku seks.
Puff
Tissue menghadapi masalah yang sama di Jerman, di mana nama perusahaan tersebut
berarti rumah pelacuran.
Slgan
Pepsi “Pepsi Adds Life” (Pepsi menambah semangat) diprotes di Cina,
karena tewrjemahan slogan tersebut menjanjikan: “Pepsi Brings Your Ancestors
Back from the Grave (Pepsi Membangkitkan leluhur Anda Dari Kuburnya)”.
Para pemasar segera meluncurkan tejemahan baru, “Baishi Kele”, yang secara
harfiah artinya “One hundred Things to be Happy About (seratus alasan untuk
bersenang-senang).
Coca-Cola
menghadapi persoalan serupa di Cina. Karena “Coca-Cola” sebenarnya tidak
bermakna apa-apa, mereka memutuskan tidak menerjemahkannya, tetapi menciptakan
kata baru dalam bahasa Cina dengan suku kata yang bunyinya sama. Sayangnya,
karakter yang mereka pilih berarti “Bite the Wax Tadpole (Gigitlah
Kecebong Lilin). Jadi, mereka memikirkan persoalan tersebut dengan hati-hati,
kemudian tampil dengan sederet suku kata berbunyi sama, “Kekou Kele”,
yang secara harfiah artinya “Palatable and Happy (enak di lidah dan
menyenagkan)” atau “Happiness in the mouth (kesenangan di mulut).” (D.
Robinson, 2005:388-389)
Kardimin, M.Hum