Penerjemahan
adalah upaya mengalihkan pesan dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Oleh
karena itu, kita tidak dapat melihat penerjemahan sebagai sekedar upaya
menggantikan teks dalam satu bahasa ke dalam teks1 bahasa
lain. Nida dan Taber (1974: 12) mengemukakan bahwa penerjemahan “consists in
reproducing in the receptor language the closest natural equivalent of the
source language message, first in terms of meaning and secondly in terms of
style”. Jadi, intinya penerjemahan adalah suatu upaya mengungkapkan kembali
pesan dan suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain. Kata-kata receptor
language memperlihatkan bahwa penerjemahan merupakan kegiatan komunikasi.
Oleh karenanya, konsep benar-salah (correctness) dalam penerjemahan,
menurut mereka (opcit. : 1) didasari oleh “untuk siapa” penerjemahan itu
dibuat. Dengan demikian, tidak ada terjemahan yang benar atau salah secara
mutlak. Bahkan saya dapat menambahkan bahwa benar-salah dalam penerjemahan juga
tergantung pada “untuk tujuan apa” penerjemahan itu dilakukan.
Dalam kaitan ini, ada yang melihat penerjemahan sebagai suatu bentuk khusus
komunikasi. Hatim dan Mason (1997: 1) mendefinisikan penerjemahan sebagai “an
act of communication which attempts to relay, across cultural and linguistic
boundaries, another act of communication (which may have been intended for
different pruposes and different readers/hearers). Penerjemah dalam hal ini
adalah penerima (pesan) dalam bahasa asli (disebut bahasa sumber, disingkat
BSu) dan kemudian, pada saat menerjemahkan ia bertindak juga sebagai pengirim
(pesan) dalam bahasa terjemahan (disebut bahasa sasaran, disingkat BSa).
______________
1Yang
dimaksud dengan teks di sini adalah produk kebahasaan tertulis atau
pun lisan
Bila yang diupayakan oleh seorang penerjemah adalah pengungkapan kembali pesan
BSU dalam BSa, maka secara tekstual teks sasaran (TSa) harus sepadan (isinya)
dengan teks sumber (TSu)’. Dalam teori penerjemahan, dua teks (TSu dan TSa) yang
sepadan adalah dua teks yang isinya dipahami secara serupa oleh penerima
(pembaca atau pendengar) masing-masing dalam BSu dan BSa. Oleh karena itu, Nida
dan Taber (1974: 173) mengemukakan bahwa secara tekstual terjemahan (TSa) yang
benar adalah yang merupakan “dynamic equivalence” dan TSu, yakni yang
bentuknya mungkin berbeda, tetapi “makna”nya serupa, yakni yang oleh penerima
TSa dipahami serupa seperti TSu dipahami oleh penerimanya dalam BSu. Jadi,
sepadan bukan sama, melainkan mengandung “nilai” yang sama.
Orientasi dalam Penerjemahan
Apa yang dikemukakan di atas belum menjelaskan secara tuntas masalah
dasar dalam penerjemahan. Newmark (1988: 4) mengemukakan betapa sebuah
terjemahan melibatkan TSu dan TSa pada dua kutub yang berlawanan. Di satu pihak
TSu dipengaruhi oleh empat faktor, yakni pemroduksi teks (tertulis atau lisan),
norma dalam BSu, kebudayaan BSu, dan format TSu. Di pihak lain, Tsa juga
dipengaruhi oleh empat faktor, yakni sidang pembaca atau pendengar TSa, norma
dalam BSa, kebudayaan BSu, dan format TSa. Semua itu akan mempengaruhi hasil
penerjemahan. Di samping itu, masih ada dua faktor lagi yang mempengaruhi
proses penerjemahan, yakni latar belakang pemikiran penerjemah dan pemahaman
tentang hal yang dibicarakan dalam TSu yang mungkin berbeda atau tidak ada
dalam BSa. Jadi sebuah teks atau ujaran ditentukan pemahamannya oleh
konteksnya, baik di pihak BSu maupun BSa. Inilah yang oleh Newmark disebut
sebagal “the dynamics of translation”.
Konteks juga menyangkut
tujuan penerjemahan. Faktor ini mempengaruhi metode yang dipilih oleh
penerjemah (Newmark 1988: 45). Yang dimaksud dengan metode adalah cara yang
dipilih penerjemah sesuai dengan apakah lebih dekat dengan BSu atau BSa. Ada
dua kutub yang saling menarik, yakni BSu dan BSa.
Metode yang berorientasi kepada BSu adalah metode “penerjemahan semantik”,
yakni yang mementingkan pengalihan makna pada tataran terendah (misalnya kata
atau ungkapan). Dalam metode ini ungkapan idiomatik tidak dicarikan padanannya,
tetapi dialihbahasakan saja meskipun idiom semacam itu tidak terdapat dalam
BSa. Misalnya,
(1) “Nobody is
gonna buy that idea” diterjemahkan dengan
(la)”Tak seorangpun akan membeli gagasan itu”
Dalam hal tertentu, ini dapat juga
disebut sebagai “penerjemahan setia” terutama apabila terjemahan itu berbunyi,
(1b) “Tidak satu orangpun akan membeli gagasan itu”
yang terasa lebih “kaku” dan “asing”
daripada yang pertama. Dalam pada itu, apabila penerjemahan lebih berorientasi
kapada BSa, maka disebut metode “penerjemahan komunikatif’. Di sini, yang
penting adalah agar pesan dipahami dalam konteks BSa. Kalimat Inggris di atas
akan diterjemahkan menjadi:
(1c) “Tak seorangpun mau menerima gagasan
itu”
yang lebih menekankan pada
keberterimaan dalam BSa.2
______________
2Sebenarnya
Newmark berbicara tentang delapan metode dasar dalam penerjemahan
(Newmark 1988:45-48). Di samping dua metode yang dibicarakan di atas, tiga di
antaranya lebih dekat lagi orientasinya kepada BSu (penerjemahan
kata-demi-kata, harfiah, dan setia) dan tiga lagi lebih dekat lagi kepada BSa
(saduran atau adaptasi, penerjemahan bebas, dan penerjemahan idiomatik). Namun.
tidak relevan untuk dibicarakan di sini. Yang penting kita pahami bahwa bahwa
tidak ada hanya satu metode dan bahwa metode-metode itu dibedakan berdasarkan
orientasinya ke BSu ata BSa, dan dipilih berdasarkan tujuan tertentu.
Melihat adanya dua orientasi yang berbeda (BSu dan BSa), maka kita pun dapat
melihat tujuan penerjemahan dan perspektif yang lebih luas. Venuti (1995;
17-28) berbicara mengenai “foreignizing translation” (yang berorientasi
kepada BSu) dan
“domesticating translation” (yang berorientasi kepada BSa)3.
Dalam hal yang pertama, penerjemah sepenuhnya berada di bawah kendali penulis
TSu, sehingga penerjemah menjadi tidak terlihat (invisible). Di sini
yang menonjol adalah penulis teks yang diterjemahkan dan yang hadir di hadapan
pembaca adalah suatu aspek kebudayaan “asing” yang diungkapkan dalam bahasa
sang pembaca. Dalam hal kedua, penerjemah menentukan apa yang diperlukan agar
terjemahannya tidak dirasakan sebagai karya “asing” bagi pembacanya (dalam hal
ini penerjemah menjadi lebih terlihat karena karyanya dianggap sebagai
“turunan” bahkan semacam “adaptasi”). Foreignization dan domestication
dapat dikatakan merupakan semacam cara pandang dalam penerjemahan. Ini
bergantung pada tujuan menerjemahkan. Hasil penerjemahan berdasarkan tujuan diakui
sebagai terjemahan. Bahkan apabila menjadi dasar dalam pembentukan kebijakan
dalam hal penerjemahan teks-teks bermuatan budaya, bisa disebut ideologi.
______________
3
“I want to suggest that in so far as foreignizing translation seeks to restrain
the ethnocentric violence of translation, it is highly desirable today, a
strategic cultural invention in the current state of world affairs, pitched
against the hegemonic English-language nations and the unequal cultural
exchanges in which they engage their global exchanges.” (Venuti
1995: 20). Nida dan Taber (1974) dalam seluruh bukunya tentang
penerjemahan Kitab Injil mendorong penerjemah melakukan domesticating
translation meskipun Ia tidak secara eksplisit menggunakan istilah
yang- digunakan Venuli itu. Namun, kita sudah dapat menangkap pada halaman pertama
bukunya bahwa “correctness must be determined by the extent to which the
average reader for which a translation is intended will likely to understand it
correctly. “Jadi, kata kunci path mereka menjadi “Anything that can be
said in one language can be said in another, unless the form is an
essential element of the message” dan “equivalence rather than
identity”. Bagi Nida dan Taber (1964: 12) penerjemahan adalah
upaya “pengungkapan kembali pesan dan suatu bahasa ke bahasa yang lain”
dan bukan sekadar pengalihbahasaan.
Kecenderungan ini dikenal dengan
nama “skopos”. Salah satu contoh yang terbaru adalah “Diskusi Panel
Penerjemahan Cerita Anak-Anak” yang diselenggarakan oleh Himpunan Penerjemah
Indonesia (HPI) di Jakarta (24 Mei 2003). Ada dua pembicara dalam panel
tersebut, yaitu Listiana Srisanti4 dan Murti Bunanta5.
Keduanya mempunyai minat besar pada cerita anak-anak, yang pertama dalam
penerjemahan, sedangkan yang kedua dalam penelitian tentang cerita anak-anak
termasuk penerjemahannya. Salah satu topik pembicaraan yang menarik dikemukakan
oleh Srisanti, yakni tentang sebutan Mr., Mrs., Mom, Dad, dan
sebagainya yang ber”warna” asing. Kata-kata itu tidak diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dengan alasan sapaan-sapaan seperti itu “tidak lagi asing bagi
pembaca Indonesia”.
Demikian pula kata sandwich, tidak
dialihkan ke dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang sama (Srisanti 2003: 5).
Dalam penerjemahan buku Harry Potter, Srisanti cenderung menerjemahkan
secara setia (bukan harfiah) dan semantik, misalnya pepper-up (merica─
mujarab), remember all (bolaingatsemua),
Nearly─headless Nick (Nick si kepala─nyaris─putus), cheering charms (jampi
jenaka), dan Kwikspel — A Correspondence for Beginners (Mantra
Kilat Kursus Sihir Tertulis untuk Pemula). Srisanti dalam penjelasan
selanjutnya mengemukakan bahwa kebudayaan asing yang disajikan dalam buku
cerita Harry Potter sengaja diperlihatkan agar dikenal oleh anak-anak
kita, yakni agar anak-anak kita mempunyai pengetahuan tentang kebudayaan lain.
Ini adalah suatu konsep penerjemahan foreignization atau transferensi, yang
ingin menerjemahkan dengan mengalihkan nilai-nilai budaya bahasa sumber ke
dalam bahasa sasaran. Tentu saja tidak berarti
______________
4
Listiana Srisanti adalah penerjernah dan editor buku anak pada penerbit PT
Grarnedia. 5Dr Murti Bunanta adalah Ketua Kelompok Pencita
Bacaan Anak (KPBA) dan spesialis sastra anak.
Srisanti tidak berusaha agar
terjemahannya enak dibaca. Justru ia menginginkan agar terjemahannya itu
“enak dibaca”. Ia mengemukakan bahwa untuk menjadi penerjemah buku anak yang
baik harus memenuhi tiga syarat, yakni “bisa bercerita, menguasai bahasa
Inggris (atau bahasa asing lain buku yang akan diterjemahkan) dengan baik,
menguasai bahasa Indonesia dengan baik dan benar.” (Srisanti 2003: 1). Di dalam
diskusi terungkap antara lain pendapat Murti Bunanta yang mengatakan bahwa
seharusnya kata-kata asing termasuk kata-kata sapaan seperti Mr., Mrs., Uncle,
Aunt, dan sebagainya itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia agar
keseluruhan terjemahan hadir sebagai bagian dari bahasa Indonesia. Di sini kita
dapat melihat suatu contoh kecenderungan domestication yang dianut oleh
Bunanta. Tentu domestication yang Iebih tinggi kadarnya adalah pada
saduran cerita binatang (fabel) di mana tokoh-tokoh hewan asing dan lingkungan
alamnya diganti dengan tokoh hewan dan alam yang ada dalam bahasa sasaran.
Misalnya, rubah yang di dalam kebudayaan Eropa dikenal sebagai binatang
yang licik diganti dengan kancil. Namun, perlu dicatat bahwa kelicikan
rubah (culas, penipu, kejam) tidak sama dengan kelicikan kancil (cerdik, menipu
karena mempertahankan diri terhadap binatang yang lebih besar). Jenis flora pun
digantikan dengan tetumbuhan yang ada di Indonesia seperti cabai dan mentimun.
Begitu pula jenis makanan, seperti keju yang di pegang burung gagak dengan
paruhnya (di Eropa) diganti dengan dendeng.
Mana yang benar dan kedua kecenderungan
ideologis tersebut di atas tidaklah dapat dinyatakan secara mutlak. Keduanya
mempunyai fungsi dalam kehidupan budaya suatu masyarakat. Apalagi masyarakat
kita termasuk masyarakat yang terbuka untuk memperoleh informasi tentang kebudayaan
mana pun. Tentu saja─dalam hal buku anak─masih diperdebatkan dampaknya terhadap
pendidikan anak-anak. ini tidak hanya menyangkut pemilihan salah satu dan dua
konsep tersebut di atas, tetapi terutama dalam pemilihan (isi) buku ceritanya.
Konteks dalam Penerjemahan
Newmark
(1988:20) mengemukakan bahwa kerangka acuan bagi proses penerjemahan bertolak
dan masalah kebahasaan dan budaya yang ditanggulangi dengan melibatkan
faktor konteks yang akhirnya diikuti dengan pemilihan prosedur penerjemahan.
Kerangka acuan itu yang digunakan sebagai dasar berpikir dalam proses
penerjemahan, dapat digambarkan sebagai berikut ini.
Masalah antar
bahasa/antarbudaya Faktor konteks Prosedur
Dari kerangka acuan tersebut di atas terlihat bahwa faktor konteks merupakan
jalan ke luar dan masalah yang timbul akibat perbedaan antara dua bahasa yang
terlibat dalam proses penerjemahan. Artinya bahwa unsur BSa yang merupakan
padanan bagi unsur BSu bisa ditemukan melalui konteks. Jadi, yang dicari
bukanlah makna formal, tetapi makna kontekstual. Perhatikan contoh berikut ini.
(2) Someone is looking for you.
(2a) Ada yang mencarimu.
Kata someone menurut konteksnya lebih tepat diterjemahkan dengan ada (padanan
kontekstual) bukan dengan seseorang (padanan formal), contoh lain adalah
seperti berikut ini.
(3)
By the will of God (dalam konteks terjadinya suatu kerusakan yang
tidak dapat diganti oleh asuransi).
(3a) Di luar kemampuan manusia.
Jadi,
terjemahan by the will of God dalam konteks peraturan asuransi tidak
diterjemahkan dengan atas kehendak Tuhan, tetapi dengan di luar
kemampuan manusia. Di sinilah konteks dapat memecahkan masalah perbedaan
antar bahasa untuk menemukan padanan yang tepat, yakni berterima bagi pembaca
dalam BSa. Bagaimana penerjemahan itu harus dilakukan, disebut prosedur.6
Penerjemahan
Berdasarkan Wacana
Penekanan pada konteks berkembang menjadi penekanan pada wacana (discourse-based
translation). Dengan demikian, kita kembali kepada konsep “dinamika
penerjemahan” (the dynamics of translation) seperti dikemukakan Newmark
dan sudah dikutip di atas. Ada sepuluh faktor yang mempengaruhi pemaknaan teks
yang hams diperhatikan dalam penerjemahan. Jadi, harus dipahami bahwa wacana
lebih luas daripada teks. Secara sederhana dapat dikatakan bahwadalam kaitan dengan penerjemahanwacana adalah teks dengan seluruh
faktor yang mempengamhi pemaknaannya, baik sebagai TSu maupun TSa. Wacana
adalah teks dengan selumh konteks dan situasi yang melingkunginya. Oleh karena
itu, konsep penerjemahan berdasar makna (meaning-based translation) (cf.
Larson 1984) harus diperluas kerangka acuannya. Upaya itu sudah dilakukan oleh
Nord (1991) dan kemudian Jabr (2001) mengemukakan bahwa dalam
hal penerjemahan berdasar wacana ada dua model, yakni model Newmark (1988) dan
model Hatim dan Mason (1990). Model Newmark, didasari oleh ciri-ciri khas yang
mecolok dalam sebuah teks, antara lain, koherensi, kohesi, tema, rema,
enumerasi, oposisi, kelewahan, konjungsi, substitusi, komparasi, negasi
inisial, tanda baca, dan retorika. Newmark juga meminta penerjemah
memparhatikan nada, maksud, jenis (fungsi teks), laras, dan fitur-fitur
pragmatik dalam sebuah teks. Dalam pada itu, Hatim dan Mason memandang
penerjemahan sebagai penciptaan dan oleh
______________
6 Tidak akan dibicarakan di
sini. Lihat antara lain Newmark (1988) pada Bab 5 dan Bab 8.
diperluas
lagi oleh Hatim dan Mason (1990) dan oleh Hatim dan Mason (1997).
karena
itu, setiap bagian teks yang diterjemahkan harus dilihat pemrosesan teks (baru)
sebagai bagian dan fungsi retorik yang berada pada tataran yang lebih tinggi.
Oleh karena itu, bagi mereka penerjemahan merupakan sesuatu yang dinamis.
Maksudnya adalah bahwa penerjemahan merupakan suatu jenis komunikasi yang
khusus, seperti yang dicerminkan dalam definisinya tentang penerjemahan yang
sudah dikutip di atas.
Jadi, bagaimana terjemahan (padanan) kata-kata asing berikut diperoleh, sangat
ditentukan oleh tempatnya dalam wacana. Perhatikan contoh berikut ini.
(4)
Lost and Found (tempat kita dapat menanyakan dan mungkin memperoleh
kembali barang yang hilang misalnya—di suatu taman rekreasi.)
(4a) Barang Hilang.
(4b) Barang Ditemukan.
Dua dan sekian banyak kemungkinan
terjemahan di atas hanya dapat dipahami dalam rangka wacana papan pemberitahuan
di suatu tempat rekreasi. Contoh lain ialah
(5) Right lane must turn right
(petunjuk di jalan raya di Amerika Serikat yang lalu lintasnya di sebelah
kanan)
(5a) Belok kanan
langsung.
Terjemahan (5a) merupakan
analogi dan Belok kiri langsung yang
terdapat dalam petunjuk di jalan di Indonesia yang lalu-lintasnya di sebelah
kiri. Sekali lagi, pemahanan teks (5) dan (5a) hanya dapat
dilakukan dalam rangka wacana sistem lalu-lintas.
Selanjutnya dapat ditambahkan bahwa
dalam proses penerjemahan harus memperhatikan kaitan intertekstual yang
terdapat antara teks tersebut dan teksteks lain, baik dalam TSu maupun
nantinya yang mungkin terjadi dalam TSa.
Semiotik dan Penerjemahan
Beranjak dari konsep
penenjemahan berdasar wacana, kita dapat berlanjut pada konsep penerjemahan
berdasar semiotik. Intinya adalah bahwa dalam setiap teks selalu ada unsur teks
yang tidak sekadar kita lihat sebagai bagian teks dengan segala konteks dan
situasi yang melingkunginya, tetapi juga sebagai tanda yang dimaknai oleh
penulis dan pembaca (pendengar) TSu dan calon pembaca (pendengar) TSa.
Pembicaraan tentang pendekatan semiotik dapat ditemukan dalam Hewson dan Martin
(1991) di mana ia berbicara tentang “language-culture” (disingkat LC)
dan bukan sekadar “language” (Hewson dan Martin 199 1:8-13). Dengan
demikian, penerjemahan dilakukan dalam rangka sistem budaya tempat teks yang
bersangkutan terdapat. Ini berarti, teori penerjemahan akan membicarakan proses
signifikasi dan komunikasi yang merupakan konsep dasar dalam semiotik, di
samping konsep pengungkapan kebahasaan (linguistic expression). Oleh
karena itu, dalam teori ini dibicarakan apa yang disebut “ideological
representation” dalam penerjemahan.
Marilah kita perhatikan contoh
berikut ini:
(6)
Good morning, Sir (di desa di Inggris)
(6a)
Mau kemana, Pak?
(6b)
Ke kantor, Pak?
(6c)
Selamat pagi, Tuan.
Pemilihan satu di antara tiga
kemungkinan terjemahan di atas tergantung dan situasi (baca: wacana “salam”)
pertemuan antara dua orang itu di desa. Kalau situasinya disesuaikan dengan
situasi di desa Indonesia, maka yang dipilih (6a) dan (6b), karena di desa
“Selamat pagi” hampir tidak dikenal dalam wacana “salam”. Akan tetapi (6c)
dapat dipilih untuk tetap mempertahankan situasi “asli “nya (di desa di
Inggris). Pertanyaan kita: apa yang dapat membuat kita memilih (6a) dan (6b) di
satu pihak atau (6c) di pihak lain? Wacana saja tidak cukup sebagai dasar. Di
sini semiotik dapat berperan, yakni digunakannya konsep “representasi”: salah
satu ujaran itu mewakili budaya apa? Juga kita dapat menggunakan konsep “tanda
sebagai konvensi” (dalam semiotik Peirce disebut symbol (lambang): salah
satu ujaran itu merupakan lambang dalam konvensi apa? Kita dapat mengatakan
bahwa (6a) dan (6b) mewakili kebudayaan desa di Indonesia, sedangkan (6c)
mewakili kebudayaan BSu (desa di Inggris). Setiap ujaran terjemahan itu juga
dapat dilihat sebagai lambang yang bermakna “sapaan hormat antara dua orang
yang saling mengenal tetapi tidak terlalu akrab”. Ujaran (6a) dan (6b) berlaku
sebagai lambang di desa Indonesia, sedangkan (6c) di Inggris.7
Pendekatan semiotik ini bisa berguna untuk memecahkan masalah penerjemahan teks
yang sarat dengan faktor kebudayaan.
Penelitian di Bidang Penerjemahan
Tujuan Kajian dan Dua Jenis Teori
Para pakar pada dasarnya sepakat untuk mengatakan bahwa ada dua dua jenis teori
penerjemahan. Yang pertama adalah yang bertujuan membantu penerjemah melakukan
tugasnya (translator-based theories), sedangkan yang kedua adalah yang
bertujuan membuat analisis dan deskripsi teoretis atas hasil penerjemahan (text-based
atau research-based theories).
______________
7 Situasi di Indonesia yang
dikemukakan di atas tidak tepat benar karena dalam kenyataan sangat tergantung
dan daerahnya. Namun, prinsip dasarnya dapat kita katakana bahwa di banyak desa
kita sapaan “salam” Selamat pagi sangat jarang digunakan.
Berdasarkan pembedaan itu, kita
dapat membedakan penelitian untuk mengembangkan teori guna membantu pekerjaan
penerjemah dengan penelitian untuk melakukan analisis dan deskripsi yang dapat
digunakan untuk mengembangkan teori. Di antara kedua jenis penelitian itu, ada
satu jenis penelitian lagi yang bertujuan mengulas atau melakukan kritik atas
suatu terjemahan (translation criticism). Ini merupakan gabungan antara
analisis, deskripsi, dan evaluasi. Dalam hal melakukan evaluasi, pengkritik
harus melihat dari segi penerjemah (mengapa penerjemah memilih suatu padanan)
dan dari segi pengkritik sendiri (setuju atau tidak setuju dengan pilihan
penerjemah apa dasarnya). Newmark (1988: 184-192) mengemukakan bahwa kritik
terjemahan merupakan “jembatan” (link) antara teori dan praktik
penerjemahan.
Secara garis besar
penelitian dibidang penerjemahan dapat ditujukan ke dua arah yang berbeda,
yakni (1) untuk menghasilkan teori dan metode serta prosedur guna membantu
penerjemah dalam melakukan pekerjaannya, dan (2) mengembangkan metodologi
penerjemahan dan tenik analisis guna (a) mengembangkan teori penerjemahan dan
(b) melakukan kritik atau ulasan atas terjemahan.
Strategi dalam Penerjemahan
Meskipun Catford (1965: 20) menggambarkan penerjemahan sebagai kegiatan
satu arah (uni-directional), pada hakikatnya proses penerjemahan selalu
dibayangi oleh daya tarik-menarik antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Ivir
(19?) menggambarkan kajian penerjemahan sebagai kajian atas parole (bahasa
dalam praktik) yang berbeda dengan kajian kontrastif yang terfokus pada langue
(sistem bahasa).
Akibat dan adanya dua kutub yang saling menarik itu, penerjemah selalu
dihadapkan dengan masalah strategi penerjemahan. Newmark telah
menggambarkan strategi penerjemahan yang beronientasi kepada TSu (semantik) dan
yang berorientasi pada TSa (komunikatif). Dalam kaitan ini, kita dapat mengutip
konsep strategi yang dikemukakan oleh Nord (1991:72-73) yang membedakan documentary
translation dengan instrumental translation. Yang pertama adalah
terjemahan sebagai upaya mengungkapkan kembali isi sebuah teks dalam bahasa
sasaran tanpa tujuan lain bagi kelompok sasaran terjemahan kecuali hanya
mengetahui apa pesan yang terkandung dalam teks sumber, sedangkan yang kedua
adalah upaya mengungkapkan kembali pesan dari teks sumber dengan tujuan khusus
yang berkaitan dengan kemungkinan dampaknya dalam kelompok sasaran terjemahan.
Kehadiran karaktenistik bahasa sumber sangat dominan, ini sejajar dengan apa
yang dikemukakan Newmark 1988: 46) sebagai penenjemahan
semantic, dan Venuti (1995: 17-28) sebagai foreignizing translation. Dalam
upaya penerjemahan jenis instrumental itu, kita dapat memasukkan
strategi penerjemahan komunikatif (Newmark 1988: 47) dan Venuti (1995: 17-28)
sebagai domesticating translation.
Jadi, penelitian di bidang penerjemahan pada masa kini tidak lagi sekedar
membandingkan kata atau kalimat dalam TSu dan TSa, tetapi terfokus pada strategi
penerjemahan, yakni konsep apa yang digunakan untuk melakukan penerjemahan.
Dalam setiap upaya penerjemahan selalu terlibat dua bahasa yang berbeda, yang
telah kita kenal sebagai BSu dan BSa. Perbedaan ini berimplikasi bahwa ada teks
asli (teks sumber) yang kemudian—sebagai akibat dan kegiatan
penenjemahan—menghasilkan teks tenjemahan (teks sasaran). Yang menarik adalah
bahwa teks sasanan hanya ada jika ada tindakan penerjemahan. Dalam
teori-teori yang terdahulu, TSa dianggap sebagai sekadar turunan (derivat) TSu.
Dalam teori-teori yang mutakhir — terutama dengan adanya konsep “skopos”8 —
Tsa, meskipun “lahir” dan penerjemahan, dapat
dipandang sebagai mempunyai peran
yang mandiri dan dinamis dilingkungan penerima dalam Bsa. Pandangan ini
melahirkan adanya strategi dalam penerjemahan karena penerjemahan bukan sekadar
alih bahasa, tetapi pengungkapan kembali pesan yang dilakukan berdasarkan suatustrategi
tertentu berdasarkan peranan teks terjemahan.dalam masyarakat BSa.9
Apa yang dikemukakan di
atas dapat digambarkan dengan bagan berikut.
_______________________________________________________________
Bagan 1: Strategi
BSu/TSu
penerjemahan
BSa/TSa
STRATEGI
orientasi kegiatan penerjemahan]
“documentary translation”
“instrumental translation”
“foreignization”
“domestication”
_______________________________________________________________
_____________________________________
8 “Skopos
(Greek: ‘pupose’, ‘goal ‘), is an appropriate name for a theory which
focuses on such aspects of translation process as interactional dynamics and
pragmatic purpose. The theory holds that the way the target text eventually
shapes up is determined to a great extent by the function. or ‘skopos’.
intended for it by the target context. (....) (Hatim, 2001: 74).
9
Harian Kompas yang terbit Sabtu, 24 Mei 2003, memuat karangan dan ulasan
tentang situasi penerjemahan di Indonesia. Harian tersebut mengajukan
pertanyaan yang bersifat strategis, yakni bahwa kini Indonesia dibanjiri dengan
buku terjemahan, tetapi mutunya tidak semua baik. “Siapa yang bertanggung
jawab?” tanya Kompas. Bagaimana dampak suatu karya terjemahan dalam
suatu masyarakat sasaran merupakan hal yang banyak diteliti orang pada
akhir-akhir ini.
Perincian Fokus dan Kelompok Topik
Penelitian
Fokus yang lebih terperinci bagi kajian atas terjemahan dapat dibagi dua, yakni
satu yang berorientasi pada proses dan satu lagi pada produk penerjemahan.
Yang berorientasi pada proses lebih banyak melihat pada proses kegiatan
penerjemahan, termasuk apa yang terjadi saat penerjemah melakukan pekerjaannya.
Dalam kaitan ini segi ingatan (memory) merupakan faktor yang mendapat
perhatian juga yang berorientasi pada produk lebih banyak melihat teks (sumber
dan terutama sasaran) sebagai objek kajian (cf. Bell 1991). Di dalam kerangka
ini objek penelitiannya dapat terfokus pada penerjemahan dan segi komunikasi,
semiotik, dan pragmatik.
Bertolak dan perincian fokus tersebut di atas, kita dapat memperinci fokus
penelitian berdasarkan kelompok topik berikut ini.
_______________________________________________________________
Bagan 2: Rincian Fokus Penelitian
RINCIAN FOKUS
kelompok
topik penelitian
segi proses penerjemahan
segi proses penerjemahan
segi komunikasi
segi semiotic
segi pragmatic
_______________________________________________________________
Dua Jenis Teori dan Tiga Jenis
Kajian
Akhirnya, perlu diingatkan kembali bahwa ada dua jenis kajian yang dilandasi
oleh dua jenis teori yang berbeda, yakni (1) yang bertujuan membantu penerjemah
dalam melaksanakan pekerjaannya dan (2) yang bertujuan mengembangkan teori
penerjemahan sebagai landasan kajian, bukan sekadar hubungan antarbahasa,
melainkan terutama hubungan antarbudaya. Di antara kedua terjemahan, yang
dipandang sebagai “jembatan” antara teori dan praktik penerjemahan. Perhatikan
bagan berikut.
_______________________________________________________________
Bagan 3: Tujuan Kajian
TUJUAN KAJIAN
Orientasi pengembangan teori
“translator-based
theories”
“research-based theories”
“translation critism”
Penutup
Demikianlah beberapa pemikiran mengenai penelitian di bidang penerjemahan.
Penelitian di bidang penerjemahan, seperti dikemukakan oleh Catford (1965:20),
termasuk cabang penelitian linguistic bandingan (comparative linguistics).
Namun, Penelitian jenis ini mempunyai sifat khusus, yakni cara pandangnya
bersifat satu arah (uni-directional). Peneliti memandang objeknya
sebagai suatu proses dan/atau hasil penerjemahan yang melibatkan bahasa sumber
dan bahasa sasaran. Dari sini kita melihat adanya gerakan tarik-menarik antara
bahasa sumber dan bahasa sasaran, yang kemudian melahirkan strategi
penerjemahan. Strategi ini secara umum, mencakupi upaya foreignization
atau domestication. Karena itulah Ivir (19?) mengemukakan bahwa kajian
penerjemahan adalah kajian atas parole yang berbeda dengan kajian
kontrastif yang fokus utamanya adalah langue. Penelitian tentang
penerjemahan adalah mengenai bahasa dalam praktik (language in use) yang
tidak harus selalu bermuara pada pemerian system bahasa. Tentu saja penelitian
penerjemahan dapat membantu kajian kontrasif, yang fokusnya adalah
membandingkan secara timbal balik dua sistem bahasa. Inilah dasar bagi
penelitian di bidang penerjemahan. Perlu dicatat bahwa tulisan ini masih
merupakan upaya awal yang masih memerlukan penyempurnaan.
Jakarta, 27 Mei 2003