Menurut definisi kamus, penerjemhan merupakan pengubahan
dari suatu bentuk kedalam bentuk lain atau pengubahan dari suatu bahasa-biasa
disebut bahasa sumber-kedalam bahasa lain-biasa disebut bhasa penrima atau
bahasa sasaran. Yang dimaksud dengan bentuk bahasa ialah kata, frase, klausa,
paragraf, dan lain-lain, baik lisan maupun tulisan dalam penerjemahan, bentuk
bahasa sumber diganti menjadi bentuk bahasa penerima.
(Translation is) the replacement of textual material in
one language (SL) by equivalent textual material in another language (TL).
Yang dapat diterjemahkan :
(Terjemahan) adalah pergantian materi textual dalam bahasa yang satu
(bahasa sumber, BSu) dengan materi textual yang ekuivalen dalam bahasa yang
lain (bahasa sasaran, BSa). (ZS)
Terjemahan dapat
dilihat dari hasil akhir penerjemahannya yaitu derajat kesetiaannya terhadap
teks aslinya dalam BSu. Dalam kelompok ini terdapat penerjemahan harfiah yaitu
penerjemahan yang mengutamakan kesetian kata demi kata dalam teks aslinya,
misalnya “selamat siang” kita terjemahkan “good day”. Cara ke dua adalah yang
biasa disebut alih bahasa yang derajat kesetiaannya 60-70 % terhadap teks
aslinya. Misalnya terjemahan novel-novel pop yang banyak dilakukan akhir-akhir
ini di Indonesia. Cara ke tiga dalam kelompok
ini di Indonesia. Cara ke tiga dalam kelompok ini di Indonesia. Cara ke tiga dalam kelompok
ini adalah saduran. Dalam hal ini pengarang atau penulis dalam BSa hanyalah
mengambil ide-ide pokok dalam Bsunya, sedangkan penulisannya bebas memakai
contoh-contoh dan ungkapannya sendiri.
Cara yang ke empat dalam kelompok ini adalah penerjemahan dinamis
yang banyak dianjurkan oleh para ahli penerjemahan modern sekarang ini. Dalam
hal ini penerjemah mencari padanan kata atau ekuivalensi yang sedekat mungkin
dengan teks aslinya dalam BSu tidak kata demi kata, atau kalimat per kalimat,
tetapi harus memperhatikan makna teks keseluruhan.
Apabila
penerjemahan dilihat dari materi yang diterjemahkan maka dalam kelompok ini
terdapat penerjemahan teks-teks ilmu pengetahuan seni budaya, buku-buku populer
baik sastra populer maupun pengetahuan populer (sebagai contoh buku-buku Alam
Semesta, terbitan Time Life Magazine yang diterjemahkan dari bahasa Inggris ke
dalam bahasa Indonesia.
Apabila dilihat
dari media penyampaian pesan maka penerjemahan dapat dilakukan secara tulisan
maupun lisan. Di dalam buku-buku referensi tentang penerjemahan untuk penerjemahan
lisan dipakai istilah interpretation, dan penerjemahannya disebut interpreter.
Perterjemahan tulisan disebut translation dan penerjemahnya disebut translator.
Seorang ahli tori penerjemahan, Eugene A. Nida
mendefinisikan, menerjemahkan adalah usaha mengalihkan pesan yang terdapat
dalam suatu bahasa kedalam bahasa lain, sedimikian rupa sehingga orang yang
yang membaca atau mendengar pesan yang telah dialihkan kedalam bahasa penerima,
memperoleh kesan yang sama dengan kesa yang diterima orang yang membaca atau
mendengar pesan tersebut dalam bahasa sumber atau bahasa aslinya. Selain itu,
pesan yang dialihkan harus diungkapkan sewajar mungkin dalam bahasa penerima,
artinya menuruti semua aturan yang berlaku bagi bahasa penerima.
Sementara itu, ahli bahasa Indonesia Prof. Dr. Anton M.
Moeliono.menyatakan, usaha penerjemahan itu pada hakikatnya mengandung makna
mereproduksi amanat atau kesan didalam bahasa sumber dengan padanan yang
palaing wajar dan paling dekat didalam bahasa penerima, baik dari jurusan arti
maupun dari jurusan gaya. Penerjemahan itu pertama-tama harus bertujuan
membahasakan kembali isi amanat atau pesan. Idealnya terjemahannya tidak akan
atau sebaiknya jangan dirasakan sebai terjemahan. Namun, untuk mereproduksi
amanat itu, mautidak mau diperlukan penyesuaian gramatikal dan leksikal.
Penyesuaian itu janganlah berakibat timbulnya berbagai struktur yang tiadak
lazim didalam bahasa penerima.
Selanjutnya Mildred L. Larson dalambukunya A Meaning
Based Translation, A Guide to Cross Language Equivalence yang diterjemahkan
kebahasa Indonesia oleh Kencanawati Tamiran, menyatakan, penerjemahan merupakan
pengalihan makana dari bahasa sumber kedalam bahasa sasaran. Maknalah yang
dialihkan dan harus dipertahankan, sedangkan bentuk bleh diubah.
Dalam bidang teori penerjemahan terdapat istilah
translation dan interpretation yang digunakan dalam konteks yang berbeda-beda
meskipun kedua istilah itu terfokus pada pengalihan pesan dari bahasa sumber
kedalam bahasa sasaran. Pada umumnya istilah translation mengacu pada
pengalihan pesan tertulis dan lisan. Namun,jika kedua istilah tersebut dibahas
secara bersamaan maka istilah translation menunjuk pada pengalihan pesan
tertulis dan istilah interpretation mengacu hanya pada pengalihan pesan lisan.
Perlu pula kita bedakan antara kata perjemahan dan terjemahan sebagai padanan
dari translation. Kata pernejemahan mengandung pengertian proses alih pesan,
sedangkan kata terjemehan artinya hasil dari suatu penerjemahan.
Para pakar teori penerjemahan mendefinisikan perjemahan
dengan cara yang berbeda-beda. Definisi-definisi penerjemahan yang mereka
kemukakan ada yang lemah, kuat, dan ada pula yang saling melengkapi satu sama
lain. Catford (1965), misalnya, mendefinisikan penerjemahan sebagai proses
penggantian suatu teks bahasa sumber dengan
teks bahasa sasaran. Dia juga mengartikan penerjemahan sebagai
penggaantian materi teks bahasa sumber dengan materi teks bahasa sasaran. Kedua
definisi penerjemahan yang dikemukakannya itu lemah. seorang penerjemah tidak
akan mungkin dapat menggantikan teks bahasa sumber dengan teks bahasa
sasarankarena struktur kedua bahasa itu pada umumnya berbeda satu sama lain.
Materi teks bahasa sumber juga tidak pernah di gantikan dengan materi teks
bahasa sasaran. Bahkan dalam penerjemahan ditekankan agar isi teks bahasa
sasaran tetap setia dengan isi teks bahasa sumber. Bertolak belakang dengan
definisi di atas, Brislin (1976)mengatakan bahwa penerjemahan adalah istilah
umum yang mengacu pada pengalihan pikiran atau gagasan dari suatu bahasa sumber
ke dalam bahasa sasaran. Bahasa yang dimaksud disini dapat berupa bahasa lisan
atau bahasa tulis. Definisi ini masih kurang lengkap karena hanya memperhatikan
masalah pengalihan pesan tanpa mempertimbangkan bentuk bahasa sasaran, Bukankah
pesan yang di alihkan itu harus diungkapkan dalam bahasa sasaran? Selanjutnya,
Kridalaksana (1985) mendefinisikan penerjemahan sebagai pemindahan suatu amanat
dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran denagn pertama-tanma mengungkapkan
maknanya dan kemudian gaya bahasanya. Definisi ini lebih banyak dianut karena
alasan tertentu. Pertama, suatu konsep dapat diungkapan dalam dua bahasa yang
berbeda. Kata mobil dan car, misalnya, mengandung konsep yang sama dan menunjuk
pada objek atau reference yang sama pula tetapi kedua kata itu termasuk dalam
dua bahasa yang berbeda. Kedua, setiap pesan yang dialihkan pasti diungkapkan
atau diwujudkan dalam bentuk bahasa baik secara lisan maupun secara tertulis.
Ketiga, gaya bahasa terjemahan merupakan salah satu aspek penting yang perlu
dipertimbangkan dalam setiap kegiatan menerjemahkan. Seperti yang telah
dikemukakan diatas, gaya bahasa dalam konteks penerjemahan perlu
dipertimbangkan oleh setiap penerjemah. Hal ini perlu dikemukakan karena ada
anggapan bahwa hanya penerjemah karya-karya sastra saja yang perlu
mempertimbangkan gaya bahasa dalam terjemahannya. Reiss, misalnya mengatakan
bahwa penerjemah teks sastra berurusan dengan bentuk bahasa; sebaliknya Savory
berpendapat bahwa penerjemah teks teknik berurusan dengan isi berita (dalam
Newmark, 1981:5). kedua pendapat itu kurang tepat. Baik penerjemah karya sastra
maupun penerjemah karya ilmiah perlu mempertimbangkan tidak hanya isi berita
tetapi juga bentuk bahasa dalam terjemahannya karena pada hakekatnya setiap
bidang ilmu mempunyai gaya bahasa dalam memgungkapkan pesannya. Hal ini sesuai
dengan pendapat Duff (1981:7) berikut ini;
“Saya pikir tidak benar juika menganggap bahwa hanya
penerjemah karya sastra saja yang berurusan dengan gaya bahasa. Disiplin apa
saja yang mungkin sedang dia terjemahkan, penerjemah harus mempertimbangkan,
misalnya, untuk siapa karya atau terjemhannya itu diperuntukkan dan bagaimana
tingkat kemampuan khusus para pembaca. Itu berarti dia harus menentukan ragam
bahasa terjemahannya dan mempertahankan ragam bahasa itu secara ajeg.”
Dalam kutipan diatas ditekankan dua hal penting, yaitu:
gaya bahasa terjemahan dan tingkat kemampuan pembaca suatu karya terjemahan.
Gaya bahasa yang dimaksudkan disini tidak sama dengan gaya bahasa dalam bidang
ilmu sastra. Gaya bahasa dalam bidang penerjemahan lebih terfokus pada tingkat
keresmian bentuk bahasa sumber. Seorang penerjemah harus menentukan ragam
bahasa terjemahan sesuai dengan jenis teks yang sedang diterjemahkan. Jika dia
menerjemahkan suatu teks ilmiah, dia harus menggunakan ragam bahasa ilmu dalam
terjemahannya. Hal yang sama berlaku juga dalam penerjemahan karya sastra. Jika
anda menerjemahkan sebuah prosa, seyogyanya gaya bahasa prosa itu harus muncul
dalam terjemahan anda. Gaya bahasa prosa itu jangan sekali-kali diubah menjadi
gaya bahasa puisi atau bahkan menjadi gaya bahasa ilmu.
Dalam menilai keindahan suatu gaya bahasa diperlukan
suatu sudut pandang yang tepat. Hal ini perlu dikemukakan karena ada pendapat
yang mengatakan bahwa gaya bahasa sastra termasuk gaya bahasa yang indah dan
gaya bahasa ilmu termasuk gaya bahasa yang kaku.
Setiap penerjemah pasti berharap agar terjemahannya
dibaca orang lain. Jika demikian halnya, pihak pembaca perlu mendapatkan
perhatian.penerjemah harus tahu kepada siapa terjemahannya diperuntukkan dan
bagaimana tingkat kemampuan khusus para pembaca. Hal ini dianggap perlu karena
kemampuan seseorang ahli akan berbeda dari kemampuan seseorang yang belum ahli
dalam memahami isi teks terjemahan yang ada kaitannya dengan bidang ilmu yang
mereka geluti. Apabila terjemahannya itu ditujukan kepada para pembaca yang
kurang ahli dalm disiplin ilmu yamg diterjemakan, penerjemah perlu
menyederhanakan kalimat terjemahan yang berkonstruksi rumit tanpa mengaburkan
atau menghilangkan pesan yang terkandung dalam teks bahasa sumber. Kata-kata
yang masih asing bagi mereka perlu dicarikan padanannya dalam bahasa sasaran
yang memungkinkan pembaca dapat memahami konsep yang terkandung dalam kata-kata
itu. Sebaliknya pembaca yang professional tidak begitu mengalami kesulitan
dalam memahami suatu isi teks terjemahan yang diungkapkan dengan
kalimat-kalimat yang kompleks dan dengan istilah-istilah yang rumit dan
konseptual. Akn tetapi perlu diingat bahwa seyogyanya penerjemah jangan terlalu
memaksakan diri untuk menjelaskan arti dari suatu istilah jika padanannya belum
ada dalam bahasa sasaran, atau jika dia sendiri belum memahami arti istilah
itu.
Mengetahui kemampuan khusus para pembaca teks terjemahan
memang bukan hal yang mudah. Mustahil seorang penerjemah dapat bertatap muka
dengan para pembaca untuk mengetahui kemampuan membaca mereka. Dengan
berpedoman pada tujuan penerjemahan itu sendiri, penerjemah dapat memilih
kata-kata atau kalimat-kalimat untuk terjemahannya.
Newmark (1985) mengatakan bahwa menerjemahkan makna
suatu teks kedalam bahasa lain sesuai dengan yang dimaksudkan pengarang.
Unsur-unsur yang diteliti adalah penulis teks asal, teks asal (TA), penerjemah,
teks terjemahan (TT) dan pembaca. Dalam perkembangan selanjutnya unsuryang
diteliti bertambah dengan situasi komunikasi, citra mental penerjemah, dan
latar belakang budaya penulis dan pembaca potensial.
Dengan kata sederhana dapat didefinisikan bahwa
menerjemahkan adalah memahami suatu teks (berbahasa asing) untuk membuat orang
lain paham (dalam bahasa sediri). Penerjemah adalah perantara yang
mengkomunikasikan gagasan dana pesan penulis teks asli yang ditulis dalam
bahasa sumber kepada pembaca melalui bahasa lain (bahasa sasaran). Pembaca teks
hasil terjemahan harus memahami dan memperoleh kesan atau pengertian sama
seperti pembaca teks asli. Mengingat bahwa bahasa adalah produk budya, maka
kegiatan penerjemahan pada hakekatnya adalah kegiatan antar budaya. Dalam
pengalihan pesan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran, terjadi pula transfer budaya
yang membuat pembaca teks hasil terjemahan mengerti atau tidak mengerti amanat
yang disampaikan.
Setiap bahasa memiliki system dan struktur sendiri (sui
generis). Penerjemah tidak dapat memaksakan system dan struktur bahasa sumber
pada bahsa sasaran yang dipakai dalam kegiatan penerjemahan. Untuk mengalihkan
pesan, penerjemah tidak mungkin mengalih bahasakan kata demi kata, melainkan
memindahkan secara wajar seluruh pesan/amanat kedalam bahasa sasaran. Contoh:
How do you do? /How are you? Apa kabar? Kumaha damang?
Comment allez-vouz?
Dear Sir/madam Dengan hormat
Monsieur, Madame,
Mengingat hal yang
telah dikemukakan diatas kesulitan penerjemahan ditemukan pada tahap pengalihan
pesan, pengalihan bentuk (structure, ungkapan, pemilihan kata). Walaupaun
“bentuk” dapat dikorbankan demi pengalihan pesan, penerjemah teks sastra
misalnya perlu berusaha keras mengalibahasakanh ungkapan, kata yang dipilih
penulis teks asli karena mengungkapkan konotasi tertentu yang dikehendakinya.
Oleh karena itu dalm penerjemahan teks sastra, penerjemeh sering mengalami
ketegangan (tension) karena mnghadapi masalah intraduisibilite
(ketakterjemahan). Tetapi ia wajib menghormati penulis dengan memilih kata
ungkapan, bahakan kalau mungkin gaya penulis asli.tentu saja semua harus
dilakukan dalam batas kewajaran bahasa Indonesia. Penerjemah tidak boleh
melanggar hak cipta dan tetap sadar bahwa ia sedang menerjemahkan, bukan
menulis karya sendiri sehingga menimbulkan pameo “La belle infidele” (si cantik
yang tidak setia).
Untuk teks yang
leih teknis sifatnya, operasional atau fungsional, pesanlah yang harus
diutamakan. Adapun penerjemah karaya ilmiah perlu memiliki pengetahuan tentang
teks yang akn diterjemhkannya, atau paling sedikit ia berusaha untuk mencari
teks-teks dalam bahasa Indonesia tentang topik yang sama dan sering
berkonsultasi dengan pakar dalam bidang tersebut. Ia tidak dapat mengandalkan
kamus karena penjelasan kamus sering tidak sesuai apa yang diungkapkan dalam
karya ilmiah. Gilles menyimpulkan bahwa menerjemahkan karya sasatra harus
“author oriented”, sedangkan penejemahan teks teknis haru “client oriented”.
Untuk yang dimaksud dengan “klien”, beberapa penulis teori mengacu pada pembaca
potensial sedang yang lain mengartikannya editor, penerbit, atau sponsor.
Berkaitan dengan klien ini, kegiatan penerjemahan juga bergantung pada
ideology.
Endri Wijatmoko
UAD YOYAKARTA