Peran Penerjemah di Tengah Dominasi Bahasa Asing di Indonesia dan Dilema yang Dihadapinya
Pernahkah kita menghitung seberapa banyak pemakaian bahasa asing
dalam satu artikel di satu surat kabar? Pernahkah kita menghitung berapa kali
si pembaca berita atau pembawa acara memakai bahasa Inggris dalam satu acara di
TV atau sebuah acara off-air? Setelah menghitung, mari kita bandingkan
pemakaian bahasa asing dan bahasa Indonesia yang ada dalam satu artikel itu
atau acara itu. Berapa prosentase kata-kata bahasa asing dan bahasa
Indonesianya? Pertanyaan-pertanyaan ini bukanlah sekedar pertanyaan sebuah soal
cerita yang biasa kita temukan di soal matematika SD. Saya sengaja mengajukan
pertanyaan-pertanyaan ini untuk membuka mata kita lebih lebar lagi tentang
kenyataan seputar kesadaran berbahasa Indonesia yang terjadi di sekitar kita.
Jika menghitung dan kemudian membuat prosentase penggunaan bahasa
asing dan bahasa Indonesia, kita akan sampai pada kesimpulan yang cukup mengenaskan
di mana masyarakat kita semakin akrab dengan pemakaian bahasa asing dan
bukannya semakin cinta pada bahasa Indonesia.
Program-program acara di MetroTV misalnya, Good Morning (on The
Weekend), Metro World News, Top Ten News, Famous to Famous, dan lain
sebagainya. Demikian juga dengan produk dan iklan yang bermunculan di setiap
sudut surat kabar, majalah, dan setiap papan iklan dipasang tinggi menjulang di
berbagai tempat di kota kita. ‘Won’t miss a shot’, ‘Senayan City’, ‘Table for
Two’, dan teman-temannya. Kenyataan seperti ini memang mengherankan dan
memunculkan pertanyaan.Logikanya, niat para pengiklan, produser, dan rumah
produksi membuat iklan, program TV, atau pun acara off-air adalah untuk
berkomunikasi dan memperkenalkan produk yang mereka jual pada masyarakat.
Karena mereka memasang iklan di Indonesia, maka otomatis pangsa pasar yang
mereka tuju adalah masyarakat Indonesia yang berbahasa ibu bahasa Indonesia.
Lalu, kenapa mereka harus sok-sok berbahasa Inggris? Apa yang ada di kepala
mereka saat mereka merancang iklan atau sebuah acara itu? Jika untuk menaikkan
gengsi produk itu, apakah bahasa Indonesia tidak cukup bergengsi dan bahasa
asing (bahasa Inggris, dalam hal ini) lebih tinggi gengsinya dibanding bahasa
ibu kita? Jika memang demikian, betapa mengenaskannya bahasa Indonesia kita
itu. Ternyata bahasa Indonesia tidak lagi menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Nah, menurut pendapat saya, seorang penterjemah atau juru bahasa
bisa turut ambil bagian dalam menaikkan gengsi dan mendidik para klien untuk
kembali ‘mempopulerkan’ bahasa Indonesia. Penterjemah memiliki kesempatan dan
kemampuan untuk menghidupkan dan memperkenalkan (lagi) pemakaian bahasa
Indonesia pada para klien. Misalnya, jika dalam sebuah materi terjemahan
seorang penerjemah menemui kata department store. Penerjemah tersebut bisa saja
menerjemahkan frase tersebut menjadi toko serba ada atau pasaraya. Demikian
juga dengan frase supermarket yang bisa dialihbahasakan menjadi pasar swalayan.
Departement store menjadi toko serba ada atau pasaraya dan supermarket menjadi pasar
swalayan itu adalah contoh yang mudah. Maksudnya, semua orang Indonesia tahu
apa yang dimaksud dengan toko serba ada, pasaraya, dan pasar swalayan. Tapi,
bagaimana dengan pramutama, pramutamu, rawat raga, dan lain-lain. Belum tentu
orang tahu bahwa pramutama itu terjemahan dari bahasa Inggris bell captain;
pramutamu adalah terjemahan dari bell boy; dan rawat raga adalah
pengalihbahasaan dari body treatment.
Inilah dilemma yang dihadapi para penerjemah dalam menyikapi
frase-frase yang sebenarnya bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, tapi
frase terjemahannya dalam bahasa Indonesia belum cukup berterima di masyarakat.
Di satu sisi sebenarnya para penerjemah memiliki ‘tugas’ untuk memperkenalkan
bahasa Indonesia yang sebenarnya cukup kaya dengan kosa kata ini. Tapi, di sisi
lain, penerjemah juga memiliki kewajiban untuk memastikan masyarakat (dalam hal
ini kliennya) mengerti apa pesan yang dimaksud dalam naskah asli yang harus
diterjemahkannya. Dengan kata lain, seorang penerjemah juga bertugas menjaga
keterbacaan naskah terjemahan tetap tinggi sehingga pesan yang terkandung di
dalamnya bisa tersampaikan dengan baik.
Faktor klien adalah faktor yang penting dalam
mengambil sikap dalam mengatasi dilemma ini. Kalau klien yang sedang kita
hadapi menurut perkiraan kita punya pengetahuan bahasa Indonesia yang cukup
luas, maka menggunakan frase-frase bahasa Indonesia secara luas mungkin bisa
ditempuh. Tapi, jika klien yang kita hadapi adalah praktisi bisnis yang ingin
segala sesuatunya serba cepat, maka penggunaan kata serapan mungkin bisa
membantu klien untuk bisa dengan cepat menangkap pesan dari naskah yang saya
terjemahkan. Dalam menghadapi klien seperti ini, kita juga bisa tetap
menggunakan frase bahasa Indonesia asli (meskipun mungkin belum cukup dikenal
oleh sang klien yang bersangkutan), tapi kita bisa membantu dia dengan
menyandingkan frase asli Indonesia itu dengan kata serapannya (sebagai
keterangan). Dengan begitu, tugas memperkenalkan kosa kata asli bahasa Indonesia
dan menjamin tingginya tingkat keterbacaan sebuah naskah juga bisa berjalan
selaras.